Vapeboss – RUU Kesehatan Omnibuslaw sempat menimbulkan kontroversi dan menerima kritik dari banyak pihak. Proses pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan menimbulkan perdebatan publik, salah satunya pada pasal penyamaan zat narkotika, dengan produk tembakau dalam satu kategori.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Firman Soebagyo, meminta ketentuan yang menyamaratakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam RUU Kesehatan dihapus. Alasannya, ketentuan tersebut bakal mengeliminasi industri hasil tembakau sekaligus merenggut nafkah hidup para pekerjanya.
“Ketentuan tersebut harus dihapus, karena tidak memenuhi rasa keadilan. Tembakau ini merupakan produk yang legal. Saya sebagai wakil rakyat yang notabene di wilayah saya banyak industri dan petani tembakau, saya punya kewajiban untuk menyampaikan kepada negara dan pemerintah agar ketentuan tersebut dihapus,” jelasnya.
Disisi lain, anggota Komisi IX DPR RI Muhammad Yahya Zaini menyarankan, adanya aturan terpisah untuk zat narkotika dan tembakau, termasuk rokok elektrik sebagai salah satu produk turunannya.
“Memang di dalam RUU disebutkan termasuk hasil produk turunan dari tembakau adalah rokok elektrik, dikategorikan sebagai bahan berbahaya. Nanti akan kita pisah secara lebih rinci, kalau induknya produk tembakau dihilangkan dari RUU, rokok elektrik akan ikut. Memang pengaturannya harus berbeda, karena memang risikonya lebih kecil,” ujarnya.
Yahya mengungkapkan, industri tembakau telah menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan Indonesia selama lebih dari seratus tahun. Bahkan, tidak hanya dari sisi penerimaan negara, tetapi sektor tembakau juga berdampak positif lantaran menjadi salah satu penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia.
“Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” papar Yahya.
Jika di "sah" kan, RUU tersebut akan menekan industri tembakau yang merupakan salah satu kontributor terbesar ekonomi nasional. Baik secara langsung seperti pendapatan cukai, maupun tidak langsung melalui penyerapan tenaga kerja. Jika beleid kesehatan ini sah, Firman menaksir maka akan ada lebih dari 5 juta pekerja industri hasil tembakau yang akan kehilangan pekerjaannya. Ini belum termasuk pekerja di sektor industri pendukung seperti distribusi, hingga ritel, kreatif, periklanan hingga UMKM.
Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) Trubus Rahardiansyah juga menyatakan, kebijakan tersebut akan membawa dampak negatif pada sektor tembakau, yang setiap hari terus bertumbuh dan berkontribusi bagi Indonesia.
"Dalam sebuah kebijakan dan regulasi, perlindungan adalah merupakan keutamaan dan seharusnya pemerintah memberikan perlindungan terhadap sektor tembakau lainnya (rokok elektrik, tembakau dipanaskan, tembakau kunyah, Dst) agar sektor yang sudah terbukti ini dapat tumbuh dan berkembang," pungkasnya.
Sebetulnya sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dalam menjelaskan bahwa, adiksi tembakau berbeda dari narkotika dengan psikotropika. Sehingga produk tersebut memang tidak dapat disamaratakan.
Sumber: Jawapos